Kasus antara Pesantren Lirboyo dan Trans7 lewat tayangan “Xpose Uncensored” adalah salah satu contoh paling jelas tentang bagaimana kritik dan kesucian bisa saling bertabrakan di ruang publik. Di satu sisi, ada pesantren sebagai simbol religiusitas, moral, dan tradisi keilmuan Islam yang dihormati dan sakral. Di sisi lain, ada media institusi yang hidup dari kebebasan berbicara dan keberanian mengulik hal-hal yang tabu. Ketika keduanya bersinggungan, ledakan pun terjadi.
Banyak pihak, terutama kalangan santri dan alumni pesantren, menilai tayangan Trans7 telah melecehkan kehormatan lembaga keagamaan. Mereka melihatnya bukan sekadar kesalahan redaksi, tapi juga penghinaan terhadap nilai kehormatan yang selama ini dijaga. Seruan #BoikotTrans7 dan #Jagapesantren menggema di berbagai platform, seolah menjadi perlawanan moral terhadap media yang dinilai kebablasan. Reaksi seperti itu bisa dimaklumi bagi para santri dan alumni karna pesantren bukan hanya institusi pendidikan, melainkan rumah spiritual yang suci dan sakral.
Tapi gelombang opini tak sepenuhnya satu arah. Banyak juga netizen yang justru membela Trans7, menilai program itu berani menyinggung sesuatu yang selama ini hanya dibicarakan dalam bisik-bisik yakni feodalisme berkedok pesantren dan menilai, tayangan itu sebenarnya bukan serangan terhadap lembaga agama, tapi merupakan refleksi sosial terhadap bagaimana otoritas kadang bisa berubah jadi mutlak. Bahwa dalam beberapa kasus, penghormatan terhadap kiai dan struktur pesantren bisa menjelma menjadi ketakutan untuk mengkritik, padahal pendidikan justru adalah ruang untuk bertanya dan berpikir bebas.
Namun, istilah “feodalisme” seringkali disalahpahami. Bukan berarti semua pesantren bersifat menindas atau otoriter. Feodalisme lebih mengacu pada relasi kuasa yang tak seimbang, di mana figur pemimpin memiliki posisi sedemikian tinggi hingga segala keputusan dianggap mutlak.
Menurut Pak Ghufron (Ketua PW RMI NU Gorontalo/Katib Syuriyah PCNU Kota Gorontalo serta Guru Pada MA dan MTs Alkhairaat Kota Gorontalo), menegaskan bahwa kontroversi tayangan Xpose Uncensored di Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang dianggap menyinggung dunia pesantren merupakan refleksi dari persoalan etika penyiaran dan kurangnya sensitivitas budaya keagamaan di ruang media. Tayangan itu dinilai sebagian pihak menggiring persepsi bahwa hubungan antara santri dan kiai mengandung unsur feodalisme. Namun Pak Ghufron menegaskan bahwa anggapan tersebut keliru jika dipahami secara umum. Dalam tradisi pesantren, penghormatan kepada kiai bukanlah bentuk feodalisme melainkan manifestasi adab dan sanad keilmuan yang menjadi dasar pewarisan ilmu dalam Islam. Karena itu setiap bentuk kritik seharusnya berangkat dari pemahaman kontekstual, bukan dari kacamata modern yang memutus akar tradisi keislaman.
Pak Ghufron menjelaskan bahwa istilah feodalisme sering disalahartikan ketika diterapkan pada kultur pesantren. Relasi antara kiai dan santri bersifat spiritual dan edukatif. Penghormatan, mencium tangan, atau mengikuti perintah guru adalah bagian dari adab, bukan penindasan. Ia menilai penggunaan istilah itu secara gegabah justru menyesatkan publik dan dapat merusak citra lembaga pendidikan Islam yang selama ini berperan besar dalam membentuk moral bangsa. Oleh karena itu Pak Ghufron menilai penting adanya literasi budaya bagi redaksi agar mampu memilah mana tradisi yang sakral dan mana yang patut dikritik secara etis.
Dalam kajiannya terhadap dinamika media sosial dan pemberitaan selama 13 hingga 23 Oktober 2025, Pak Ghufron mengidentifikasi tiga arus besar tanggapan publik. Pertama gelombang pembelaan terhadap marwah kiai dan pesantren sebagai simbol keilmuan Islam. Kedua dorongan agar Trans7 menegakkan standar etika penyiaran dan melakukan koreksi sistemik. Ketiga munculnya seruan boikot dan tuntutan reformasi redaksi agar media lebih sensitif terhadap isu keagamaan.
Pak Ghufron juga menilai langkah cepat Trans7 mulai dari permintaan maaf publik 14 hingga 15 Oktober, klarifikasi ke Lirboyo 16 Oktober, hingga kunjungan langsung Chairul Tanjung 23 Oktober sebagai bentuk crisis leadership apology yang efektif menurunkan ketegangan. Namun menurut Pak Ghufron perbaikan yang lebih mendasar terletak pada sistem penyiaran itu sendiri, yaitu adanya pre broadcast risk check, subject matter review, dan ethics gate untuk mencegah salah tafsir dalam isu sensitif seperti agama. Ia menegaskan tidak semua pesantren seperti yang digambarkan tayangan itu, banyak yang terbuka, moderat, dan berkomitmen terhadap kemurnian ajaran Islam.
Intinya, Potongan tayangan yang disebarkan tanpa konteks membuat publik melihatnya sebagai penghinaan langsung. Padahal, di balik kekeliruan Trans7, mungkin akan banyak dialog penting yang seharusnya bisa lahir.
Dan pada akhirnya, kontroversi tersebut akhirnya mengingatkan kita bahwa agama dan kebebasan berekspresi sering kali berjalan di garis yang tipis. Media punya tanggung jawab etis untuk tidak memukul rata dan tidak menyinggung keyakinan orang karna kita belum tau ada nilai tradisi turun temurun dalam menjaga kehormatan guru/kiyai yang nilai tersebut hanya bisa dirasakan oleh santri dan orang-orang yang dilingkungan pesantren tersebut.
.png)
.png)