Hanya membutuhkan 6 hari dalam mengumpulkan akumulasi amarah masyarakat dari pernyataan blunder para anggota Dewan hingga driver ojol yang terlindas rantis Baracuda, dan berujung pada perusakan fasilitas umum dan penjarahan, sehingga tajuk demo menjadi "Aparat vs Masyarakat".
Demonstrasi di depan Gedung DPR yang dimulai dari 25 Agustus 2025 dan berujung ricuh serta anarkis membuka banyak spekulasi tentang siapa dalang sebenarnya di balik kerusuhan tersebut. Beberapa menyebut keterlibatan aktor dalam negeri, Beberapa menuding pengaruh asing, bahkan ada anggapan bahwa kerusuhan itu dibiarkan berkembang sebagai panggung politik. Di balik beragam spekulasi itu, ada satu pov menarik yang bisa dikutip dari serial Game of Thrones: yakni ungkapan “Chaos isn’t a pit, chaos is a ladder.”
Dalam serial Game Of Thrones, ada seorang antagonis yang bernama Petyr Baelish (Littlefinger) yang merupakan anggota dewan kerajaan yang ternyata adalah biang dari terjadinya perang 7 kerajaan karena kepiawannya dalam mengadu domba antar petinggi kerajaan dengan petinggi kerajaan lain. Ia melihat kekacauan bukan sekedar kehancuran suatu kerajaan, melainkan tangga untuk naik ke puncak kekuasaan. Memang terkesan licik, tapi bagi saya itu adalah cerdas. Analogi tersebut terasa relevan dengan situasi Indonesia akhir-akhir ini. Demo rusuh di DPR jelas memukul citra Polri yang berhadapan langsung dengan massa, sementara rakyat dibiarkan merasa kecewa terhadap negara. Bila benar ada strategi di balik semua ini, maka kekacauan memang sedang difungsikan sebagai alat (ladder) untuk menciptakan pahlawan baru sekaligus menggeser opini publik.
Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan? teori-teori liar muncul di beragam sosmed, bahwa Presiden Prabowo sengaja membiarkan rakyat berhadap-hadapan dengan Polri agar suatu institusi akan akan tampil sebagai penengah.
Ferry Irwandi, salah satu aktivis sosial media dan pengamat pendidikan, dalam youtubenya (https://www.youtube.com/watch?v=3FwSeBfl61g) menyebut bahwa kerusuhan yang terjadi tidak sepenuhnya spontan. Menurutnya ada indikasi orkestrasi politik, dengan pola gerakan terorganisir yang sulit dianggap kebetulan. Ia bahkan menemukan tanda keterlibatan kelompok bersenjata yang mampu menyalakan api di fasilitas umum yang sulit terbakar tanpa bahan khusus. Ferry Irwandi juga menggarisbawahi bahwa akun-akun media sosial yang sebelumnya dikenal pro-pemerintah justru ikut memprovokasi, seolah ada skenario yang sengaja dibiarkan terbuka. Jika dugaan dan teori tersebut benar, maka demo ricuh tentu bukan sekadar ekspresi kekecewaan, tetapi bagian dari desain besar untuk menata ulang persepsi publik. Pandangan ini memberi gambaran bahwa kerusuhan bukan sekadar akumulasi kekecewaan rakyat, melainkan hasil dari sebuah desain panggung politik yang lebih besar.
Kembali ke Littlefinger, kerusuhan yang terjadi jika tidak diantisipasi akan memperlihatkan siapa yang jatuh dan siapa yang memanjat. Rakyat jelas menjadi korban yang menanggung luka dan rasa kecewa. sangat disayangkan jika Polri kehilangan simpati karena tampil sebagai wajah represif negara. Tetapi di balik itu, ada pihak-pihak yang mampu menjadikan kekacauan ini sebagai tangga untuk memperkuat posisi politik. Ketika kembali dilihat dari sudut pandang Ferry Irwandi bahwa kelompok terorganisir yang memainkan kerusuhan memperoleh daya tawar baru.
Dengan demikian, kemungkinan demonstrasi bukan sekadar peristiwa sosial, melainkan arena politik di mana chaos atau kerususuhan dijadikan sebuah instrumen. Seperti dalam serial Game of Thrones, hanya sedikit yang berani memanjat tangga di tengah kekacauan, sementara mayoritas justru jatuh ke jurang. Rakyat menanggung kerugian, Polri terjebak dalam citra buruk, dan elite yang lihai justru naik ke puncak baru di atas reruntuhan. Kerusuhan demo bukan sekadar bencana, melainkan tangga kekuasaan yang sedang dipanjat.
